Short Trip to Hidden Gems in Muratara

Juni 08, 2022

Berawal dari ide yang terucap spontan, aku dan Tenni memutuskan untuk healing sebentar ke desa paling ujung di Kabupaten Muratara, tepatnya desa Muara Kulam, Napal Licin dan Kuto Tanjung.

Short trip kali ini sengaja kami gunakan healing sebagai alasan utama. Rutinitas yang hampir sama setiap hari terasa membosankan. Stress. Mau liburan ke tempat yang agak jauh ehhh ini masih minggu aktif proses KBM, ditambah lagi kasus Covid-19 belum mereda. Alhasil kami putuskan untuk pergi ke destinasi terdekat saat weekend.

Healing kok malah ke daerah terpencil? Tiap orang mempunyai cara tersendiri untuk healing. Ada yang shopping, treatment ke salon, makan enak, tidur seharian, ada juga yang traveling. Kami lebih suka explore alam. Katanya di sana ada air terjun, gua, sungai dan puncak. Beberapa foto destinasi tersebut bisa kami lihat di unggahan media sosial, membuat kami semakin tak sabar berkunjung.

Beberapa hari sebelum kami berangkat, aku sempat contact si Wahyu buat ngabarin kalo kami mau main ke sana sekalian make sure dia bisa nemenin kami selama trip. Rada ga enakan juga, soalnya planning kita dadakan. Alhamdulillah dia siap sedia dan mau ajakin teman-temannya yang lain buat ikutan. FYI, Wahyu anak rantauan yang dapat tugas mengabdi sebagai pengajar di sana. Kami saling kenal saat Latsar 2020 di Palembang.

Sabtu siang kami dijemput dari desa Surulangun. Perjalanan ditempuh selama 2 jam menggunakan mobil dengan tarif Rp. 30.000/orang. Bagi yang mengidap motion sick, perjalanan menggunakan mobil sangat tidak dianjurkan. Jalanannya terdapat banyak lobang besar, membuat mobil bergoncang hebat saat melaluinya. Tak terbayang jika musim hujan tiba.

Padang Savana, Muara Kulam

Sebenarnya ini hanya lahan luas yang digunakan para kerbau menghabiskan waktu untuk makan, tidur dan berendam di lumpur. Letaknya tepat di pinggir jalan utama desa, tak jauh dari kandang kerbau milik penduduk desa. Tak heran juga jika banyak tumpukan kotoran di sepanjang jalan menuju lahan ini.

Jadi istilah padang savana ini berasal dari ucapan spontan ketika melihat panorama estetik di hadapan kami. Tentu saja warga lokal yang mengenalnya sebagai tempat kubangan kerbau akan tertawa jika mendengar kami  menamainya padang savana.

Tampak di belakangku kawanan kerbau sedang berkeliaran.

Cahaya langit saat matahari terbenam menambah estetik pemandangan. Tanah yang tak beraturan di belakang kami tidak bisa diinjak karna berlumpur dan membentuk kolam-kolam kecil berisi air.

Air Terjun Sosokan, Sosokan

Dinamakan Air Terjun Sosokan karena berada di desa Sosokan. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk berjalan kaki untuk sampai ke lokasi air terjun karena tidak bisa dilalui kendaraan. Kita harus masuk ke dalam hutan yang rimbun dengan trek jalanan menurun dan licin. Beberapa spot trek bersebelahan dengan jurang yang mengharuskan kita berpegangan dengan kayu atau akar tanaman.

Air Terjun Sosokan memiliki 2 cabang yang disekat oleh bebatuan. Di antara bebatuan tersebut tumbuh lelumutan. Sedang di bagian bawahnya terdapat sebuah kolam alami dengan ukuran cukup lebar yang aman untuk dipakai mandi dan berenang.

Sungai Rawas, Muara Kulam

Selain Sungai Rupit, Sungai Rawas merupakan salah satu sungai besar yang membelah Kabupaten Musi Rawas Utara. Mongabay Indonesia memetakan anak Sungai Rawas. Tercatat ada 54 anak sungai. Dimulai dari Sungai Betuah, Sungai Buluh, Sungai Ratau, Sungai Betung, Sungai Baru, Sungai Tambang, Sungai Beringin, hingga Sungai Keruh. Melalui anak sungai ini, berbagai suku hadir di hulu Sungai Rawas sejak ratusan tahun lalu. Misalnya Suku Rejang, Merangin Kerinci, Palembang, dan Jawa.

Sangat disayangkan masih kerap terjadi penambangan liar emas, pasir dan batu yang memiliki dampak mencemari air sungai yang sebagian besar dikonsumsi masyarakat Ulu Rawas.

Punjung, Napal Licin

Punjung merupakan salah satu ikon desa Napal Licin. Punjung (bahasa daerah) berarti puncak. Ketika pengunjung sudah berada di atas atau puncaknya (Punjung), pemandangan yang indah kian terlihat jelas di antaranya pemandangan permukiman warga desa, bukit karang nato, bukit bongkok, sungai dan areal persawahan yang semuanya berada dalam suatu kawasan desa yang menimbulkan keindahan secara alami.

Selain tempat wisatanya yang memanjakan mata, akses menuju ke lokasi pun gampang di lalui. Pengunjung bisa menggunakan sepeda motor karena aksesnya sudah dibangun oleh pemerintah desa dan tak khayal tempat tersebut sering dijadikan tempat perkemahan oleh wisatawan dari luar daerah.

Gua Batu, Napal Licin

Gua Batu di Desa Napal Licin terletak di tepi jalan darat yang dibangun tahun 1990-an. Tingginya dari permukaan jalan sekitar 25 meter. Jaraknya dengan Sungai Rawas sekitar 25 meter. Goa ini masuk wilayah TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat)

Karena goa berada di kawasan desa Napalicin maka di sebutlah oleh masyarakat setempat Goa Napalicin.

Jangan lupa foto di sini kalo kalian ke Gua Napal Licin.

Dari pintu masuk kita dihadapkan dengan jalanan yang terus menanjak. Butuh sekitar 15 menit untuk sampai ke mulut gua. 

Begitu sampai di mulut gua, kami disuguhi stalaktif dan stalagmit megah yang sudah tercipta ribuan tahun. Kondisi sekitar mulut gua terdapat lumut dan tanaman merayap. Tanahnya lempung berpasir, dan sebagian dipenuhi kotoran kelelawar.

Kami menyusuri lorong gua yang tak begitu luas sehingga jika berjalan di dalam gua harus menunduk agar bisa melewati lorong tersebut. Udaranya terasa lembab dan pengap. Setelah memasuki lorong-lorong gua, akan menemui tetesan air dari langit gua yang diselingi kelelawar dan burung walet yang banyak beterbangan. Berbagai bentuk stalagmit dan stalaktit pun bisa terlihat di dalam gua. Di sepanjang lorong gua sesekali terdengar tetesan air yang jatuh dari dinding serta atap gua yang berupa bebatuan. Uniknya, tetesan air ini mengasilkan irama yang merdu seolah instrument klasik yang sedang didendangkan.

Vibe yang kami rasakan ketika melewati celah bebatuan seperti melewati lorong waktu. Bagaimana tidak? Gua ini dulunya merupakan tempat tinggal manusia purba yang berdasarkan karbon dating gua ini sudah ada 4.000 tahun lalu.

Bahkan baru diketahui sebagai hunian manusia purba setelah penelitian Balai Arkeologi (Balar) Sumsel pada 2012. Ada 13 artefak batu yang ditemukan. Satu buah temuan alat masif berupa kapak perimbas (chopper) dengan bagian tajaman melintang.

Di tengah gua tampak rekahan besar membentuk aula dengan beratap langit. Wow! It's actually magnificent natural sculpture. Luar biasa megah. 

(foto diambil dari blog ini)
(foto diambil dari blog ini)

Lubang pada gua ditumbuhi berbagai tanaman hijau lebat, pakis-pakisan dan lumut. Udaranya lembab dan cukup mendapat sinar matahari untuk menerangi gua. Di tengah aula terdapat batuan karst besar dan tajam, kita harus memanjat dan berpindah ke batuan besar yang lebih tinggi, kemudian terus memanjat hingga tiba di pelataran sempit berpasir. Tak jauh dari sana tampak dinding dengan rongga di sisinya. Di sisi dalam rongga terlihat akar tanaman besar yang menempel.

Untuk mencapai puncak gua, satu-satunya jalan yang harus kita tempuh ialah dengan memanjat dinding gua dengan bantuan akar tanaman tersebut. Bukan hanya itu saja, sisi dinding gua begitu licin karena dialiri tetesan air dari atas gua. Ciut. Hopeless. Sedih sih gak bisa swafoto di puncak gua padahal ini klimaks dari short trip kami. Padahal dari atas gua, akan terlihat hamparan hutan, sungai, dan pemukiman yang berada di sekitar Taman Nasional Kerinci Sebelat.

Pas Aswin menawarkan kami untuk naik ke puncak gua. Bukannya menolak tapi kami menahan diri untuk pulang dengan selamat.

Foto akar tanaman diambil tahun 2017 (foto diambil dari blog ini)

Foto akar tanaman diambil tahun 2021

Terlihat kondisi akar tanaman yang dimakan usia, bukan hanya memendek tapi kekuatannya juga semakin berkurang.

Berdasarkan beberapa situs internet, ada legenda yang dipercaya warga setempat. Dulunya bukit ini merupakan sebuah kapal yang terdampar. Kemudian lewatlah seorang pengembara sakti bernama Serunting Sakti atau yang suka dipanggil Si Pahit Lidah. Kesaktian Si Pahit Lidah adalah, bahwa dia mampu menyumpah apa pun menjadi batu, termasuk manusia. Melihat ada kapal yang terdampar, Si Pahit Lidah pun tertarik. Karena penasaran, Si Pahit Lidah berusaha memanjat ke atas kapal tersebut. Namun, karena ukuran kapal yang besar, Si Pahit Lidah tidak berhasil memanjatnya. Karena kesal Si Pahit Lidah lalu pergi, sambil bergumam ‘susah sekali memanjat kapal itu seperti batu besar’. Lalu kapal tersebut menjadi batu besar dan terbentuklah gua.

Batu Ampar, Kuto Tanjung

Batu Ampar merupakan sungai yang memiliki bebatuan besar dari napal yang membentang / menghampar secara bertingkat di salah sasu sisinya. Dari celah batu tersebut mengalir air sehingga terlihat seperti air terjun kecil. Batu Ampar sendiri persis berada di desa Kuto Tanjung, Kecamatan Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara.

Kita bisa mengendarai motor untuk tiba di lokasi dengan waktu tempuh sekitar 25 menit. Melewati hutan dan kebun karet warga, trek yang akan dilalui sudah cukup bagus dengan jalanan coran semen.

Jika di musim kemarau, air sungai sangat bening dan sejuk dan di sepanjang sungai dipenuhi bebatuan besar. Sayangnya kami tidak bisa menyeberang karena air sangat deras dan penuh di musim penghujan. Kami berharap jika ada kesempatan lain kami bisa kembali di musim kemarau.

Saat makan siang tiba, kami memutuskan untuk langsung mencari kayu bakar, dedaunan dan lokasi untuk membakar ikan. Sengaja kami membentangkan daun tepat di pinggir sungai, selain tanahnya agak datar, katanya pacet takut sama suara aliran sungai. Kebayang gak lagi asik makan tiba-tiba pacet nempel di kaki? Kan kena mental plus hilang selera makan.

Setelah mengunjungi destinasi wisata tersebut, terselip angan dan harapan di benak kami. Kami harap semua orang, khususnya yang suka traveling dan explore alam, bisa merasakan euforia dan mendapatkan pengalaman yang sama dengan apa yang kami alami. Semua destinasi ini adalah aset Muratara yang potensial. Untuk mengembangkan dan menjadikannya sebagai lokasi kunjungan bagi wisatawan, harus dipersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan sarana dan prasarana pendukungnya. Tentunya hal ini tak lepas dari dukungan penuh dinas pariwisata, pemerintah setempat dan masyarakat.

Kami berangan destinasi wisata ini ditangani dengan serius. Ya mungkin untuk kategori daerah pemekaran yang berusia ke-9 pada tahun ini, masih banyak hal prioritas yang harus ditangani, mungkin contohnya ekonomi dan pendidikan. Tapi percayalah jika wisata dan sistemnya dikelola dengan baik, tentu akan menjadi hubungan mutualistik antar masyarakat lokal dan wisatawan. Hal ini pasti akan menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat. Take the tourism to another level! Imagine semua destinasi wisata ini menyediakan biro perjalanan resmi, jasa tour guide, kemudian dari sisi keamananan misalnya untuk permainan arung jeram, peralatan cave climbing dan parkir kendaraan, serta fasilitas pendukung lainnya seperti air bersih dan kotak sampah, layaknya tempat wisata bertaraf nasional, how cool is that!

Demikian cerita short trip kali ini. Bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati alam yang luar biasa bersama orang-orang baik. Terima kasih untuk semua orang yang sudah membantu di perjalanan ini, Wahyu untuk semuanya dari bangun tidur-makan-tidur lagi, Mba Fajar as tim hore, Pak Bara dan Kot as our private tour guide and driver handal, the last but not least Pak Aswin as kuncen gua dan traktiran ikannya for our lunch. Semuanya gak akan berjalan lancar tanpa bantuan mereka. Secuil kebahagiaan ini tentu tidak lengkap jika hanya untuk dirasakan sendiri. Tentu saja ini akan menjadi sebuah memori manis yang bisa kami kenang di kemudian hari. Xoxo.

Source :

  • https://www.mongabay.co.id/2021/01/09/ulu-rawas-jejak-peradaban-manusia-di-sumatera-yang-terlupakan/
  • https://indonesiatraveler.id/goa-napalicin-goa-legendaris-di-sumatra-selatan/
  • https://robbysnt.wordpress.com/2017/05/04/pesona-napal-licin/






You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Send Me a Hello

Flickr Images

Subscribe